Oleh : Drs.
H.M. Sholeh Wahid
Bukanlah orang yang kaya itu adalah orang banyak hartanya,
akan tetapi yang disebut orang kaya adalah orang yang kaya hati (HR. Bukhori.)

As Syaikh Ahmad Ar Rifa’i dalam kitabnya yang
berjudul Riayatal Himmah Juz akhir berkata, qonaah menurut bahasa artinya
tenang, sedangkan makna terminologi syar’i yaitu tenang hatinya mengharap ridho
Allah semata serta mengambil dunia seperlunya sesuai dengan kebutuhan, sekira
dapat digunakan untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Lebih lanjut As Syaikh menegaskan,
Al Qani’u Ghaniyyun walau kana juu’a ( Orang yang qonaah itu kaya walaupun ia
kelaparan ).
Orang yang memiliki jiwa qonaah akan selalu menampakkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Allah kepadanya tanpa sedikitpun mengharap apa yang bukan menjadi bagiannya. Sehingga rasa bahagia akan menyelinap kedalam hatinya dan terpancar dari mukanya yang penuh kegembiraan.
Orang yang memiliki jiwa qonaah akan selalu menampakkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Allah kepadanya tanpa sedikitpun mengharap apa yang bukan menjadi bagiannya. Sehingga rasa bahagia akan menyelinap kedalam hatinya dan terpancar dari mukanya yang penuh kegembiraan.
Intinya, qonaah adalah merasa tenang dan terima
terhadap apa yang diberikan oleh Alloh kepadanya, tidak loba dunia, tamak,
rakus ataupun menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya semata. Islam tidak
melarang umatnya mencari kehidupan dunia, akan tetapi dunia haruslah dijadikan
sebagai sarana dalam menggapai kebahagiaan Akherat, itu yang di kemukakan oleh
Allah dalam firmannya, Dan
Raihlah olehmu apa yang telah disediakan oleh Allah yaitu negara Akherat dan
janganlah kamu lupakan bagianmu dari kehidupan dunia.” QS Al Qashshash ayat 77.
Bukan malah menjadikan akherat sebagai
kendaraan untuk mencari dunia. Carilah dunia, tapi gunakanlah dunia itu untuk
berbakti kepada Alloh Swt.
Para eksekutif muda dan profesional muda senang
menghabiskan uangnya untuk refreshing di kafe, spa, dsb. setiap akhir pekan,
dengan alasan menghilangkan kepenatan. Demikian juga para pejabat dan konglomerat
banyak pula yang menghabiskan masa liburan di luar negeri atau sekedar shopping
ke Singapura. dan tentunya banyak mengeluarkan biaya.
Inilah contoh praktik sikap tidak qona’ah yang
terjadi pada bangsa kita. yang menyebabkan kemajuan demokrasi, sains, teknologi
dan bidang-bidang lain menjadi terhambat.
Lihatlah teladan kita, Rasulullah saw., beliau bersabda:
”Makanan untuk seorang mencukupi untuk dua
orang dan makanan untuk dua orang mencukupi untuk empat orang dan makanan untuk
empat orang mencukupi untuk delapan orang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lifestyle Rasulullah saw yang notabene nya
pemimpin imperium pada saat itu, sangatlah sederhana. bahkan pernah suatu waktu
beliau banyak mengikatkan batu pada perutnya untuk menahan rasa lapar. padahal
bisa saja Rasul menggunakan kekuasaan beliau untuk meraup kekayaan, tapi itu
tidaklah terjadi. beliau takut kepada Allah SWT dan tentunya beliau dilindungi
Allah SWT dari segala sifat tercela.
Dari Abu Muhammad yaitu Fadhalah bin Ubaid
al-Anshari r.a. bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Beruntunglah
kehidupan seseorang yang telah dikaruniai petunjuk untuk memasuki Agama Islam,
sedang kehidupannya berada dalam keadaan cukup dan ia bersifat qona’ah
(menerima).” (HR.Imam Tirmidzi) .
Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang qanaah
menyikapinya sebagai sebuah ibadah yang mulia di hadapan Allah
Yang Mahakuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong, ataupun
mengurangi timbangan. Karena ia yakin, tanpa menghalalkan segala cara pun ia
tetap akan mendapatkan rezeki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari, posisi
rezeki yang dicarinya tidak akan melebihi dari tiga hal.
Pertama, rezeki yang ia makan
hanya akan menjadi kotoran.
Kedua, rezeki yang ia pakai
hanya akan menjadi benda usang.
Ketiga, rezeki yang ia
nafkahkan(Shodaqah) akan bernilai di hadapan Allah.
Niat yang lahir dari hati orang-orang yang qanaah
ketika melakukan aktivitas pencarian dunia bukan didasarkan pada penumpukan
kekayaan untuk ia nikmati sendirian, namun benar-benar didasarkan pada ibadah.
Orang-orang qanaah akan mencari harta dan dunia untuk membekali dirinya agar
lebih kuat dalam beribadah. Ia akan berpikir, bukankah Allah lebih mencintai
mukmin yang kuat dibanding mukmin yang lemah?
Pencarian harta dan dunia yang dilakukannya juga
dimaksudkan untuk menafkahi keluarganya agar tidak terjatuh pada jurang
kefakiran, menyantuni orang lain, dan agar tidak membebani orang lain ketika
Allah menimpakan kesulitan kepada dirinya. Ia akan terus teringat:
Niat orang-orang qanaah ketika mencari harta juga
didasarkan pada keharusannya menguasai ilmu pengetahuan. Ia tidak akan pernah
merasa sayang dengan harta dan dunia sepanjang ia menggunakannya untuk makin
bertambahnya ilmu pengetahuan. Ia yakin, hanya dengan memiliki ilmulah ia dan
keluarganya akan merasa tentram dalam beribadah dan bermuamalah.
Qana’ah (rela atas segala pemberian Allah SWT),
adalah suatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi orang yang
diberikan taufiq dan mendapat petunjuk serta dijaga oleh Allah Yang MahaKuasa
dari keburukan jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan
dalam keadaan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta. Namun, meskipun
demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya bisa menekan sifat
tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah.
Berikut ada beberapa kiat menuju
qana’ah,yaitu:
1. Memperkuat keimanan kepada Allah SWT
2. Yakin bahwa rizki telah tertulis
3. Memikirkan Ayat-Ayat Allah
4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rezeki
5. Banyak memohon doa kepada Allah SWT semoga
kita selalu qonaah.
6. Menyadari bahwa rizki tidak diukur dengan
kepandaian
7. Melihat ke bawah dalam hal dunia
8. Membaca kehidupan para shahabat dan
orang-orang terdahulu
9. Menyadari betapa beratnya pertanggungjawaban
harta
10. Melihat realita bahwa orang fakir dan orang
kaya tidak jauh berbeda
Karena orang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan
seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang
paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang
fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan oleh orang fakir. Tidak mungkin
si kaya makan lebih dari 50 piring, meskipun dia mampu untuk membeli dengan
hartanya. Andaikan si kaya memiliki seratus potong baju maka si kaya hanya
memakai sehelai baju saja, bukankah hal ini sama dengan yang dipakai oleh orang
fakir, dan harta selebihnya yang tidak ia manfaatkan maka itu relatif (nisbi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar