Rabu, 02 September 2015

Etika Buruh dan Majikan dalam Islam

Tidak ada komentar:
(Drs.H.M. Sholeh Wahid)

“Barangsiapa yang menyia-nyiakan kaum buruh, maka ia adalah musuhku.”
(Al Hadits)

May Day atau tepatnya 1 Mei yang ditetapkan sebagai Hari Buruh sedunia diperingati oleh para pekerja dengan aneka ragam aktivitas. Hal ini dapat disaksikan dari liputan beberapa media di antaranya berupa unjuk rasa, aksi damai, longmarch, diskusi publik, zikir bersama, hingga mengheningkan cipta dan membacakan Panca Prasetya Buruh. Tujuannya adalah untuk menuntut perbaikan nasib dan kondisi tenaga kerja, yang apabila dirangkum meliputi hal-hal berikut ini. Antara lain penetapan upah yang layak, penghapusan sistim kerja outsourcing,
tindakan premanisme, kriminalisasi aktivis buruh, perlakukan diskrimatif, penolakan kenaikan BBM, serta penolakan campur tangan lembaga keuangan internasional seperti IMF, ADB, dan WTO. Lalu, bagaimana dalam etika dan hukum Islam mengenai masalah tersebut?

Lima belas abad yang lalu, Rasulullah telah melakukan reformasi struktural dan moral kaitannya dengan ketenagakerjaan, yang saat itu pada umumnya diisi oleh para budak. Mereka (para budak) itu berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, dengan tanpa kecukupan makan, sandang, dan papan. Bahkan sebagian mereka dijadikan sebagai komoditas yang diperdagangkan oleh para majikannya. Para budak yang saat itu dipekerjakan tanpa upah, dinaikkan posisinya oleh Rasulullah SAW ke tingkat saudara, mitra, dan bahkan pemegang saham. Kalaupun masih terdapat sektor ekonomi dengan sistim mendapatkan upah, jumlahnya sangat kecil, karena sektor ekonomi tersebut memang tidak dapat atau sulit berjalan tanpa sistim upah.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menyia-nyiakan kaum buruh, maka ia adalah musuhku.” Kemudian, dalam Hadis yang menceritakan tentang Abu Dzar juga disebutkan bahwa Nabi bersabda, “bahwa mereka (para budak) itu adalah saudaramu. Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu, barangsiapa yang mempunyai saudara di bawah asuhannya, maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan diberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak membebankan mereka tugas yang berat. Maka jika engkau membebankannya tugas seperti itu, maka hendaklah kamu membantu mereka.
Selain itu, diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda, “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” Di sisi lain, nabi bersabda, “Bila budak melayani tuannya dan ia melayani tuannya dengan baik, maka ia mendapatkan dua pahala.”

Dari beberapa riwayat di atas, sekurang-kurangnya, terdapat beberapa prinsip mengenai pola relasi pekerja dan pemilik modal dalam Islam. Pertama, prinsip al-musaawaah (kesetaraan), yakni relasi persaudaraan dan partner. Para pekerja, termasuk budak sekalipun hendaknya dijadikan saudara dan mitra kerja. Kedua pihak saling membutuhkan. Pekerja sama pentingnya dengan pemilik modal.

Kedua, prinsip al-‘adaalah (keadilan), relasi yang adil antara para pekerja dan pemik modal sehingga tercipta relasi yang seimbang (balance), setara (egaliter), dan tidak zalim. Di satu sisi para pekerja dituntut melaksanakan tanggung jawab yang diamanahkan dengan maksimal, dengan bekerja sungguh-sungguh sebagaimana Firman Allah “Maka apabila kamu telah selesai (dari satu pekerjaan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh pekerjaan yang lain” (Q.S. 94:7).
Di sisi lain, pemilik modal harus memberi upah yang layak sesuai dengan kebutuhan hidup dan tanggung jawab yang dibebankan kepada para pekerja dengan segera. Bahkan, jika perusahaan mendapatkan keuntungan yang banyak, seharusnya juga dapat dinikmati oleh para pekerjanya.

Ketiga, prinsip al-insaaniyyah (humanis), perlakuan secara manusiawi seperti larangan memberikan pekerjaan yang di luar kesanggupan tenaga kerja, larangan memperkerjakan anak (di bawah umur), memberikan waktu dan ruang yang memadai untuk makan dan melaksanakan ajaran agama yang dipeluknya. Kini, masihkah terdapat perusahaan yang memperkerjakan anak di bawah umur dan tidak menyediakan waktu dan fasilitas yang memadai untuk pelaksanaan ibadah (seperti salat) bagi para karyawannya?
Apabila prinsip-prinsip yang telah digagas dan diteladankan oleh Rasulullah tersebut dilaksanakan, maka peringatan May Day pastilah tidak seperti yang disaksikan setiap tahun ini yang penuh dengan gugatan dan protes terhadap pemilik modal dan pemerintah. Melainkan berupa peringatan yang penuh dengan kegembiraan, penghargaan, pujian, dan keharuan. Mungkinkah terdapat peringatan May Day seperti ini? Tiada yang mustahil jika semua pihak berupaya untuk melakukan reformasi struktural dan moral sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Sejenak mati kita tengok dua cerita  tentang seorang
pertama budak dan buah Delima. Dan ke duan tentang majikan yang menjaga upah buruhnya

I. Sahabat, di jaman Rasulullah ada seorang mantan budak kurus yang dimerdekakan oleh tuannya. Ia bernama Mubarak.

Setelah merdeka, Ia pun bekerja pada seorang pemiliki kebun sebagai buruh. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya bersama dengan beberapa sahabatnya. Dipanggillah Mubarak, “Hai Mubarak petikkan kami beberapa buah delima yang manis!," pintanya.

Bergegas Mubarak melaksanakan perintah sang tuan. Ia memetik beberapa buah delima, lalu Ia serahkan kepada sang majikan dan beberapa sahabat tuannya.

Namun, ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik Mubarak, tak satupun ada yang manis. Semuanya masam. Sontak majikannya pun marah dan langsung bertanya kepada mubarak, "apa kamu tiak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?"

"Selama ini Anda tidak pernah mengizinkan saya makan barang sebuahpun, bagaimana saya bisa membedakan yang delima yang manis dan yang masam?," Jawab Mubarak.

Sang tuan merasa kaget dan tak percaya, bertahun-tahun bekerja di kebun itu, tapi Mubarak tak pernah makan satu buahpun. Maka ia menanyakan hal itu kepada tetangga-tetangganya. Semua menjawab, Mubarak tidak pernah makan delima barang sebuahpun.

Singkat cerita, selang beberapa hari, sang tuan datang menemui Mubarak untuk meminta pendapatnya. Sang tuan pun bertanya

"Aku hanya punya seorang anak perempuan, dengan siapa aku harus menikahkannya?"

Dengan tenang, Mubarak menjawab : "tuan, orang Yahudi menikahkan karena kekayaan, orang Nashrani menikahkan karena ketampanan, orang  Jahiliyah menikahkan karena nasab kebangsawanan, sedangkan orang Islam menikahkan karena ketakwaan. Tuan termasuk golongan mana silahkan tuan menikahkan putri tuan dengan cara mereka!"

Lalu tuannya berkata, "demi Allah, aku hanya akan menikahkan putriku atas dasar ketakwaan. Dan aku tidak mendapati laki-laki yang lebih bertakwa kepada Allah melebihi dirimu. Maka aku akan menikahkan putriku denganmu."

Subahanallah, sungguh luar biasa. Mubarak tak pernah menduga akhirnya akan seperti ini. Hikmah Mubarak menjaga dirinya dari makan buah delima yang bukan haknya dan belum pernah diizinkan oleh pemiliknya, akhirnya Allah anugerahkan kebun itu beserta pemiliknya kepadanya.

Dari rumah tangga yang dibina Mubarak atas dasar ketakwaan tadi, lahirlah seorang syaikhul Islam, ulama besar, muhaddits ternama, mujahid yang pemberani, seorang kaya yang dermawan; Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah.
Dan kedua

Kisah tentang tiga orang yang terperangkap dalam goa yang tidak mungkin keluar, ketiganya berdoa kepada Allah…   dan  Orang yang ketiga lalu berkata: "Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua diambilnya dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kami dari kesukaran yang sedang kami hadapi ini." Batu besar itu lalu terbuka sedikit lagi dan merekapun keluar dari gua itu. (Muttafaq 'alaih)

Wallahu A’lamu bisshawab

“Artinya : Berikan upah pekerja sebelum kering keringatnya” [1] [1]. Hadits shahih dikeluarkan oleh Ibnu Majah (2443) dan ada hadits-hadits lain yang menguatkannya, yaitu hadits Abu Hurairah dan Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu.

Yakni sebelum berlalu waktunya walaupun sedikit

Tidak diragukan lagi, bahwa menangguhkannya hingga dua bulan atau lebih akan menyulitkan orang-orang miskin itu, lebih-lebih lagi mereka megemban tanggung jawab nafkah untuk keluarga dan diri mereka sendiri. Penangguhan itu tentu mengantarkan mereka kepada kelaparan, kesuliatn, tidak adanya pakaian, pinjaman dan utang. Sungguh ini merupakan kezhaliman yang besar. Maka hendaknya para majikan senantiasa mengingat hal itu dan membayangkan bila hal itu menimpa mereka. Jika hak mereka ditahan sementara mereka sangat membutuhkan, apa yang akan mereka lakukan. Hendaklah mereka takut akan doanya orang yang dizhalimi, karena tidak ada pembatas antara Allah dan doanya orang yang dizhalimi. Wallahu ‘alam

[Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala wal Amilin, hal. 63 Syaikh Ibnu Jibrin]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
back to top