(Drs.H.M.
Sholeh Wahid)
“Barangsiapa
yang menyia-nyiakan kaum buruh, maka ia adalah musuhku.”
(Al Hadits)
tindakan premanisme, kriminalisasi aktivis buruh, perlakukan diskrimatif, penolakan kenaikan BBM, serta penolakan campur tangan lembaga keuangan internasional seperti IMF, ADB, dan WTO. Lalu, bagaimana dalam etika dan hukum Islam mengenai masalah tersebut?
Lima
belas abad yang lalu, Rasulullah telah melakukan reformasi struktural dan moral
kaitannya dengan ketenagakerjaan, yang saat itu pada umumnya diisi oleh para
budak. Mereka (para budak) itu berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,
dengan tanpa kecukupan makan, sandang, dan papan. Bahkan sebagian mereka
dijadikan sebagai komoditas yang diperdagangkan oleh para majikannya. Para
budak yang saat itu dipekerjakan tanpa upah, dinaikkan posisinya oleh
Rasulullah SAW ke tingkat saudara, mitra, dan bahkan pemegang saham. Kalaupun
masih terdapat sektor ekonomi dengan sistim mendapatkan upah, jumlahnya sangat
kecil, karena sektor ekonomi tersebut memang tidak dapat atau sulit berjalan
tanpa sistim upah.
Dalam
suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menyia-nyiakan kaum buruh, maka ia adalah musuhku.”
Kemudian, dalam Hadis yang menceritakan tentang Abu Dzar juga disebutkan bahwa
Nabi bersabda, “bahwa mereka (para budak) itu adalah saudaramu. Allah
menempatkan mereka di bawah asuhanmu, barangsiapa yang mempunyai saudara di
bawah asuhannya, maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya
(sendiri) dan diberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri), dan tidak
membebankan mereka tugas yang berat. Maka jika engkau membebankannya tugas
seperti itu, maka hendaklah kamu membantu mereka.
Selain itu, diriwayatkan dari Ibnu
Umar bahwa Rasulullah bersabda,
“Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” Di sisi lain, nabi
bersabda, “Bila budak melayani tuannya dan ia melayani tuannya dengan baik,
maka ia mendapatkan dua pahala.”
Dari
beberapa riwayat di atas, sekurang-kurangnya, terdapat beberapa prinsip
mengenai pola relasi pekerja dan pemilik modal dalam Islam. Pertama, prinsip al-musaawaah
(kesetaraan), yakni relasi persaudaraan dan partner. Para pekerja, termasuk
budak sekalipun hendaknya dijadikan saudara dan mitra kerja. Kedua pihak saling
membutuhkan. Pekerja sama pentingnya dengan pemilik modal.
Kedua, prinsip al-‘adaalah (keadilan),
relasi yang adil antara para pekerja dan pemik modal sehingga tercipta relasi
yang seimbang (balance), setara (egaliter), dan tidak zalim. Di satu sisi para
pekerja dituntut melaksanakan tanggung jawab yang diamanahkan dengan maksimal,
dengan bekerja sungguh-sungguh sebagaimana Firman Allah “Maka apabila kamu
telah selesai (dari satu pekerjaan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
pekerjaan yang lain” (Q.S. 94:7).
Di sisi lain, pemilik modal harus
memberi upah yang layak sesuai dengan kebutuhan hidup dan tanggung jawab yang
dibebankan kepada para pekerja dengan segera. Bahkan, jika perusahaan
mendapatkan keuntungan yang banyak, seharusnya juga dapat dinikmati oleh para
pekerjanya.
Ketiga, prinsip al-insaaniyyah
(humanis), perlakuan secara manusiawi seperti larangan memberikan pekerjaan
yang di luar kesanggupan tenaga kerja, larangan memperkerjakan anak (di bawah
umur), memberikan waktu dan ruang yang memadai untuk makan dan melaksanakan
ajaran agama yang dipeluknya. Kini, masihkah terdapat perusahaan yang
memperkerjakan anak di bawah umur dan tidak menyediakan waktu dan fasilitas
yang memadai untuk pelaksanaan ibadah (seperti salat) bagi para karyawannya?
Apabila prinsip-prinsip yang telah
digagas dan diteladankan oleh Rasulullah tersebut dilaksanakan, maka peringatan
May Day pastilah tidak seperti yang disaksikan setiap tahun ini yang penuh
dengan gugatan dan protes terhadap pemilik modal dan pemerintah. Melainkan
berupa peringatan yang penuh dengan kegembiraan, penghargaan, pujian, dan
keharuan. Mungkinkah terdapat peringatan May Day seperti ini? Tiada yang
mustahil jika semua pihak berupaya untuk melakukan reformasi struktural dan
moral sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Sejenak
mati kita tengok dua cerita tentang
seorang
pertama
budak dan buah Delima. Dan ke duan tentang majikan yang menjaga upah buruhnya
I.
Sahabat, di jaman Rasulullah ada seorang mantan budak kurus yang dimerdekakan
oleh tuannya. Ia bernama Mubarak.
Setelah merdeka, Ia pun bekerja pada seorang pemiliki kebun sebagai buruh. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya bersama dengan beberapa sahabatnya. Dipanggillah Mubarak, “Hai Mubarak petikkan kami beberapa buah delima yang manis!," pintanya.
Bergegas Mubarak melaksanakan perintah sang tuan. Ia memetik beberapa buah delima, lalu Ia serahkan kepada sang majikan dan beberapa sahabat tuannya.
Namun, ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik Mubarak, tak satupun ada yang manis. Semuanya masam. Sontak majikannya pun marah dan langsung bertanya kepada mubarak, "apa kamu tiak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?"
"Selama ini Anda tidak pernah mengizinkan saya makan barang sebuahpun, bagaimana saya bisa membedakan yang delima yang manis dan yang masam?," Jawab Mubarak.
Sang tuan merasa kaget dan tak percaya, bertahun-tahun bekerja di kebun itu, tapi Mubarak tak pernah makan satu buahpun. Maka ia menanyakan hal itu kepada tetangga-tetangganya. Semua menjawab, Mubarak tidak pernah makan delima barang sebuahpun.
Singkat cerita, selang beberapa hari, sang tuan datang menemui Mubarak untuk meminta pendapatnya. Sang tuan pun bertanya
"Aku hanya punya seorang anak perempuan, dengan siapa aku harus menikahkannya?"
Dengan tenang, Mubarak menjawab : "tuan, orang Yahudi menikahkan karena kekayaan, orang Nashrani menikahkan karena ketampanan, orang Jahiliyah menikahkan karena nasab kebangsawanan, sedangkan orang Islam menikahkan karena ketakwaan. Tuan termasuk golongan mana silahkan tuan menikahkan putri tuan dengan cara mereka!"
Lalu tuannya berkata, "demi Allah, aku hanya akan menikahkan putriku atas dasar ketakwaan. Dan aku tidak mendapati laki-laki yang lebih bertakwa kepada Allah melebihi dirimu. Maka aku akan menikahkan putriku denganmu."
Subahanallah, sungguh luar biasa. Mubarak tak pernah menduga akhirnya akan seperti ini. Hikmah Mubarak menjaga dirinya dari makan buah delima yang bukan haknya dan belum pernah diizinkan oleh pemiliknya, akhirnya Allah anugerahkan kebun itu beserta pemiliknya kepadanya.
Dari rumah tangga yang dibina Mubarak atas dasar ketakwaan tadi, lahirlah seorang syaikhul Islam, ulama besar, muhaddits ternama, mujahid yang pemberani, seorang kaya yang dermawan; Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah.
Setelah merdeka, Ia pun bekerja pada seorang pemiliki kebun sebagai buruh. Suatu hari, sang tuan mengunjungi kebunnya bersama dengan beberapa sahabatnya. Dipanggillah Mubarak, “Hai Mubarak petikkan kami beberapa buah delima yang manis!," pintanya.
Bergegas Mubarak melaksanakan perintah sang tuan. Ia memetik beberapa buah delima, lalu Ia serahkan kepada sang majikan dan beberapa sahabat tuannya.
Namun, ketika majikannya mencicipi delima yang dipetik Mubarak, tak satupun ada yang manis. Semuanya masam. Sontak majikannya pun marah dan langsung bertanya kepada mubarak, "apa kamu tiak bisa membedakan delima yang manis dan yang masam?"
"Selama ini Anda tidak pernah mengizinkan saya makan barang sebuahpun, bagaimana saya bisa membedakan yang delima yang manis dan yang masam?," Jawab Mubarak.
Sang tuan merasa kaget dan tak percaya, bertahun-tahun bekerja di kebun itu, tapi Mubarak tak pernah makan satu buahpun. Maka ia menanyakan hal itu kepada tetangga-tetangganya. Semua menjawab, Mubarak tidak pernah makan delima barang sebuahpun.
Singkat cerita, selang beberapa hari, sang tuan datang menemui Mubarak untuk meminta pendapatnya. Sang tuan pun bertanya
"Aku hanya punya seorang anak perempuan, dengan siapa aku harus menikahkannya?"
Dengan tenang, Mubarak menjawab : "tuan, orang Yahudi menikahkan karena kekayaan, orang Nashrani menikahkan karena ketampanan, orang Jahiliyah menikahkan karena nasab kebangsawanan, sedangkan orang Islam menikahkan karena ketakwaan. Tuan termasuk golongan mana silahkan tuan menikahkan putri tuan dengan cara mereka!"
Lalu tuannya berkata, "demi Allah, aku hanya akan menikahkan putriku atas dasar ketakwaan. Dan aku tidak mendapati laki-laki yang lebih bertakwa kepada Allah melebihi dirimu. Maka aku akan menikahkan putriku denganmu."
Subahanallah, sungguh luar biasa. Mubarak tak pernah menduga akhirnya akan seperti ini. Hikmah Mubarak menjaga dirinya dari makan buah delima yang bukan haknya dan belum pernah diizinkan oleh pemiliknya, akhirnya Allah anugerahkan kebun itu beserta pemiliknya kepadanya.
Dari rumah tangga yang dibina Mubarak atas dasar ketakwaan tadi, lahirlah seorang syaikhul Islam, ulama besar, muhaddits ternama, mujahid yang pemberani, seorang kaya yang dermawan; Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah.
Dan
kedua
Kisah
tentang tiga orang yang terperangkap dalam goa yang tidak mungkin keluar,
ketiganya berdoa kepada Allah… dan Orang yang ketiga lalu berkata: "Ya Allah, saya mengupah beberapa
kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang
lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan
sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu
hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah
sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah
berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan
juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau
memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau.
Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua diambilnya dan
tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang
sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kami
dari kesukaran yang sedang kami hadapi ini." Batu besar itu lalu terbuka sedikit
lagi dan merekapun keluar dari gua itu. (Muttafaq 'alaih)
Wallahu A’lamu bisshawab
“Artinya
: Berikan upah pekerja sebelum kering keringatnya” [1] [1]. Hadits shahih
dikeluarkan oleh Ibnu Majah (2443) dan ada hadits-hadits lain yang
menguatkannya, yaitu hadits Abu Hurairah dan Jabir bin Abdullah Radhiyallahu
‘anhu.
Yakni sebelum berlalu waktunya walaupun sedikit
Tidak diragukan lagi, bahwa menangguhkannya hingga dua bulan atau lebih akan menyulitkan orang-orang miskin itu, lebih-lebih lagi mereka megemban tanggung jawab nafkah untuk keluarga dan diri mereka sendiri. Penangguhan itu tentu mengantarkan mereka kepada kelaparan, kesuliatn, tidak adanya pakaian, pinjaman dan utang. Sungguh ini merupakan kezhaliman yang besar. Maka hendaknya para majikan senantiasa mengingat hal itu dan membayangkan bila hal itu menimpa mereka. Jika hak mereka ditahan sementara mereka sangat membutuhkan, apa yang akan mereka lakukan. Hendaklah mereka takut akan doanya orang yang dizhalimi, karena tidak ada pembatas antara Allah dan doanya orang yang dizhalimi. Wallahu ‘alam
[Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala wal Amilin, hal. 63 Syaikh Ibnu Jibrin]
Yakni sebelum berlalu waktunya walaupun sedikit
Tidak diragukan lagi, bahwa menangguhkannya hingga dua bulan atau lebih akan menyulitkan orang-orang miskin itu, lebih-lebih lagi mereka megemban tanggung jawab nafkah untuk keluarga dan diri mereka sendiri. Penangguhan itu tentu mengantarkan mereka kepada kelaparan, kesuliatn, tidak adanya pakaian, pinjaman dan utang. Sungguh ini merupakan kezhaliman yang besar. Maka hendaknya para majikan senantiasa mengingat hal itu dan membayangkan bila hal itu menimpa mereka. Jika hak mereka ditahan sementara mereka sangat membutuhkan, apa yang akan mereka lakukan. Hendaklah mereka takut akan doanya orang yang dizhalimi, karena tidak ada pembatas antara Allah dan doanya orang yang dizhalimi. Wallahu ‘alam
[Ad-Durr Ats-Tsamin fi Fatawa Al-Kufala wal Amilin, hal. 63 Syaikh Ibnu Jibrin]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar